foto by. www.pajak.go.id dengan judul foto bendera Indonesia

JAKARTA – DSimplytax.com
Semangat pemahaman sebagai suatu negara demokrasi yang menyatakan bahwa pemerintahan terselenggara dari, oleh, dan untuk rakyat juga sejalan dengan semangat penerimaan pajak. Semangat dalam penerimaan pajak sendiri dapat dimaknai sebagai penghasilan atau anggaran dana suatu negara yang berasal dari rakyat melalui proses pemungutan pajak ataupun berasal dari pengelolaan kekayaan alam yang terdapat dalam negara yang harus dibayar oleh rakyat. Sehingga, terjadi  peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara untuk dapat menyelenggarakan kegiatan pemerintahan dan mewujudkan kesejahteraan rakyat.

APBN dan Biaya Demokrasi

Berbicara tentang demokrasi, negara kita Republik Indonesia saat ini pun tengah siap menyambut pesta demokrasi lima tahunan pada tanggal 14 Februari 2024 nanti. Dan tentu saja biaya demokrasi untuk pelaksanaan Pemilu membutuhkan biaya yang cukup besar. Dikutip dari Mediakeuangan.kemenkeu.go.id, untuk Pemilu 2024, Negara mengalokasikan anggaran hingga Rp71,3 triliun. Sekitar 20 bulan sebelum Pemilu terselenggara biaya demokrasi tersebut bahkan sudah dianggarkan sejak jauh-jauh hari.  Mulai pada tahun 2022, pemerintah mengalokasikan Rp3,1 triliun.

Tahun 2023, alokasi anggaran Pemilu bertambah menjadi Rp30,0 triliun. Dan pada tahun 2024 ini, alokasinya kembali meningkat lagi menjadi Rp38,2 triliun.

Sejalan dengan anggaran penyelenggaraan demokrasi tersebut, Pemilu tahun 2024 yang merupakan pemilihan umum keenam kalinya terhitung sejak Asian Financial Crisis tahun 1997-1998 ini juga memberikan dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi nasional baik secara langsung maupun tak langsung bagi Produk Domestik Bruto (PDB). Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro Badan Kebijakan Fiskal, Abdurohman, dalam acara Media Gathering Kementerian Keuangan di Cianjur, Jawa Barat, 25 September 2023, menyampaikan bahwa dampak pelaksanaan pemilu berpotensi menaikan nilai konsumsi di Indonesia.

Dampak pemilu tersebut antara lain dampak langsung berupa meningkatnya konsumsi pemerintah sehubungan dengan peningkatan belanja negara atas pelaksanaan pesta demokrasi dan dampak tidak langsung terjadi melalui tambahan pendapatan masyarakat dan lembaga non-profit rumah tangga (LNPRT) sebagai akibat dari kegiatan kampanye dan pelaksanaan Pemilu. Sektor-sektor seperti makanan minuman, logistik, transportasi, pakaian, dan jasa-jasa pendukung pemilu akan membawa efek pengganda besar.

Kenaikan aktivitas perekonomian atas pelaksanaan demokrasi tersebut tentunya juga akan menjadi suatu siklus positif yang memberikan dampak pada penerimaan negara di sektor pajak.

Penerimaan Pajak Tinggi?

Dalam sebuah artikel ilmiah yang bertajuk “Do Democracies Tax More? Political Regime Type and Taxation” yang diterbitkan jurnal internasional (Garcia dan Haldenwang, 2015), secara menarik disampaikan atas kajian relasi antara kaitan rezim politik dan perpajakan  pada 131 negara dari tahun 1990 hingga 2008 digambarkan sebuah hubungan nonlinear (U-shaped relationship) yang menjelaskan bahwa dalam suatu kondisi  Negara yang sepenuhnya demokratis skor polaxis 20 dan negara yang sepenuhnya otoriter dengan skor polaxis 0 ternyata memiliki rasio pajak yang tinggi dan relatif setara.

Berdasarkan kajian tersebut, dapat disimpulkan bahwa stabilitas politik memiliki peran yang besar untuk menentukan kinerja penerimaan pajak suatu negara. Temuan ini juga menunjukkan bahwa pada negara yang sedang dalam proses peralihan dari otoritarianisme menuju negara demokrasi memberikan hasil kinerja penerimaan pajak yang rendah. Hal ini karena rasio pajak akan meningkat seiring proses demokratisasi suatu negara sudah berhasil hingga memperbaiki kualtas institusi di negara tersebut yang pada akhirnya akan memberikan kepercayaan kepada rakyat untuk turut serta menjadi bagian dari demokratisasi itu dengan ikut membayar pajak. Lain kata, negara butuh waktu untuk menuju iklim demokratis yang matang. Pada masa peralihan dari rezim tangan besi menuju rezim yang lebih demokratis, penerimaan pajak masih rendah. Namun seiring berjalannya waktu dan tumbuhnya kepercayaan rakyat kepada negara, penerimaan pajak meningkat signifikan.

Pemilu 2024 dan Pajak

Jumat 2 Desember 2022 lalu Ketua KPU RI Hasyim Asy’ari resmi meluncurkan maskot Pemilu 2024 yaitu “Sura dan Sulu” bersama jingle Pemilu 2024 yang berjudul “Memilih Indonesia”. Sura sendiri menjadi digambarkan menjadi sosok burung jalak jantang yang mewakili pemilih laki-laki dan Sulu sebagai burung jalak betina mewakili pemilih Perempuan. Harapannya, halini dapat mengajak seluruh elemen dan lapisan rakyat Indonesia untuk andil bagian dalam proses demokrasi yang baik di Pemilu 2024 ini.

Pelaksanaan demokrasi yang baik diharapkan membawa rangkaian efek baik termasuk di antaranya sektor perekonomian dan penerimaan pajak. Semoga pelaksanaan pesta demokrasi yang baik ini akan memberi dampak positif berupa meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggaraan pemerintahan secara keseluruhan termasuk pada otoritas pajak. Dan tentunya hasil demokrasi yang baik ini akan berujung kepada penentuan pemimpin-pemimpin baru yang akan menentukan kebijakan, baik berikutnya termasuk kebijakan perpajakan untuk Indonesia yang lebih baik.(*)

*) Mardi Suntoro, pegawai Direktorat Jenderal Pajak.
*) Naskah telah tayang di pajak.go.id pada tanggal 5 Januari 2024 dengan judul yang sama